Pada suatu hari Ncuhi Jia kedatangan
utusan dari Ncuhi Lambu. Seorang Ncuhi yang menguasai wilayah tenggara tanah
Sape.
“ Kami datang untuk menyampaikan amanat Ncuhi
Lambu.”
“ Amanat ?
Apakah yang menjadi hajatnya ?” Ncuhi Jia ingin tahu.
“ Beliau
bermaksud menyelenggarakan pesta besar dalam rangka perkawinan putrinya.”
. “
Wah…..Wah….Wah… ! Hebat…. Hebat ! Kapan
pesta itu dilaksanakan ?” Ncuhi Jia semakin penasaran.
“Pada malam
purnama depan.”
“ Kalau begitu, pada kesempatan ini saya
nyatakan untuk hadir pada pesta itu. Dan sampaikan salam hormat saya pada
Ncuhimu.”
“ Baiklah !
Kami tidak akan berlama-lama di sini karena masih banyak urusan yang harus diselesaikan.”
Lalu utusan
itu meninggalkan kediaman Ncuhi Jia
menuju kampung halamannya.
Berita
tentang pesta besar Ncuhi Lambu tersebar ke seluruh wilayah Jia. Dari
puncak-puncak gunung sampai ke hulu sungai orang-orang bercerita tentang pesta
tersebut.
Singkat cerita ncuhi jia beserta
rakyatnyapun pergi ke pesta yang diadakan oleh ncuhi lambu tersebut. Sesampainya
disana mereka beristrahat dan saling bersapaan antara satu sama lainnya. Kata ncuhi
lambu“ Menurut saya ada baiknya Ncuhi merebahkan diri sejenak untuk
mengembalikan tenaga sebagai persiapan untuk pulang.” Ncuhi Lambu terus
mendesak.
Akhirnya
Ncuhi Jia mengalah. Sambil terus menguap ia berjalan menuju ke Bilik yang telah
disiapkan Ncuhi Lambu. Tak lama kemudian ia tertidur pulas. Sementara itu, di
arena pesta terus berkemas untuk pulang. Semuanya sudah siap dan tinggal
menunggu Ncuhinya. Setelah lama mereka berunding, akhirnya mereka meutuskan
untuk kembali ke kampung Jia
dan meninggalkan ncuhinya. Setelah melangkah lebih jauh, ia
terkejut. Sebab tak satupun dari warganya yang terlihat. Sepi, hening dan
lengang menambah kegundahan dalam hatinya. Larut dalam kekesalan, tanpa terasa ia telah memasuki
hutan belantara. Pasrah ia berjalan meski tak tentu arah tanpa disadari
ia telah tiba di pinggir panta,
tiba-tiba saja
matanya selalu tertuju kepada sesuatu yang sedang menuju ke arahnya nun jauh di
tengah lautan. Semakin lama semakin dekat. Namun ia belum dapat memastikan
apakah itu perahu atau benda lain. Keraguannya terjawab ketika semakin mendekat
dan tepat berada di hadapannya. Ternyata adalah seekor Ikan Ekor Kuning (Bima:
Uta Bangkolo) yang sangat besar. Ncuhi Jia terkejut dan heran ketika ikan itu
dapat berbicara dan menawarkan sesuatu kepadanya.
“ Naiklah di atas punggung saya dan saya akan
membawa tuan sampai ke tujuan.”
Tanpa
berpikir panjang Ncuhi Jia langsung naik di atas punggung ikan itu. Secepat
kilat ikan itu membawa Ncuhi Jia untuk berkeliling mengitari selat Sape. Dan
mengantar Ncuhi Jia sampai ke kampungnya. Ncuhi Jia mengangkat sumpah sambil memegang punggung ikan
itu. Sebagai ungkapan terima kasihnya atas pertolongan ikan itu.
“
Pada hari ini aku bersumpah, bahwa aku, wargaku dan anak keturunanku tidak
boleh sekali-sekali memakan ikan ekor kuning( Uta Bangkolo). Jika sumpah ini
dilanggar, maka seluruh tubuhnya akan gatal-gatal dan membengkak. Dan tidak ada
obat yang mujarab untuk itu.”
Seluruh
rakyat hanya diam dan menunduk. Isi sumpah itu telah mengikat mereka. Bila mereka memakan ikan bangkolo maka seluruh rakyat jia sekujur
tubuh mereka gatal-gatal. Kepalanya pusing, mual-mual dan muntah, seperti orang
kesurupan. Sejak saat itu masyarakat yang bermukim di wilayah desa Jia
kecamatan Sape. Tidak mengkonsumsi ikan ekor kuning hingga sekarang. Dan Wajan
besar beserta seluruh perangkatnya sebagai bukti peninggalan zaman itu masih ada dan terletak
di atas sebuah bukit di sekitar desa Jia kecamatan Sape Bima. Wajan itu dikenal
dengan nama TABE BANGKOLO.
Dan
sampai sekarang ini masyarakat jia tidak memakan dan melihat ikan tersebut.
http://irawanmantoi.blogspot.co.id/2012/08/cerita-rakyat-sape-bima-ntb-tabe.html
0 komentar:
Posting Komentar