Dalam bahasa Mbojo, upacara adat
disebut “Rawi Rasa” Rawi
Rasa berarti semua kegiatan yang dilakukan secara gotong-royong oleh seluruh
masyarakat. Rawi rasa terdiri dan dua jenis kegiatan, yaitu rawi mori dan rawi
made. Yang dimaksud dengan rawi mori ialah kegiatan yang berhubungan
dengan upacara kehamilan, kelahiran, khitanan dan pernikahan. Sedang rawi made
ialah upacara yang berhubungan dengan kematian. Khusus bagi rawi made dilakukan
berdasarkan hukum Islam. Sehingga tidak ada upacara adat yang dilakukan pada
rawi made.
Sekarang yang saya bahas yaitu rawi
mori yang berhubungan dengan acara “kiri
loko” atau nujuh bulanan. Acara digelar atau di lakukan pada ibu hamil yang
berumur 7 bulan anak pertamanya. . Upacara ini hanya dilakukan bagi seorang ibu
yang pertama kali mengandung. Jalannya upacara dihadiri oleh kaum ibu dan
dipimpin oleh sando nggana (dukun beranak) yang dibantu oleh enam orang tua
adat wanita.
Upacara akan dimulai pada saat maci oi
ndeu (waktu yang tepat untuk mandi) di sekitar jam 07.00. Sando nggana menggelar
tujuh lapis sarung. Setiap lapis ditaburi beras dan kuning uang perak sa ece
(satu ketip = 10 sen). Selain itu disimpan pula dua liku atau dua leo
mama (dua bungkus bahan untuk menyirih). Maksud dan taburan beras kuning, ialah
agar ibu beserta calon bayinya akan hidup bahagia dan jaya. Uang sa ece,
sebagai peringatan kepada ibu bersama calon bayi, bahwa uang merupakan salah
satu modal dalam kehidupan.
Diatas hamparan tembe dan kain putih,
ibu yang salamaloko, tidur terlentang. Sando nggana mengoles perut ibu dengan
sebiji telur, yang diminyaki dengan minyak kelapa. Diikuti secara bergilir oleh
enam orang tua adat, memohon kepada Allah SWT, agar ibu bersama calon bayi
selamat sejahtera.
Pada upacara ini keluarga dan tetangga
baik pria maupun wanita diundang hadir untuk menyaksikan. Disaat dukun
memperbaiki dan meraba-raba perut ibu hamil tersebut, saat itu pula para tamu
laki-laki mengadakan do`a zikir. Ibu-ibu juga hadir untuk menyaksikan upacara
salama loko /kiri loko, mereka umumnya membawa barang-barang
kado/hadiah/sumbangan untuk sang ibu hamil. Kado/ hadiah/ sumbangan ini
biasanya perlengkapan kebutuhan ibu dan bayi seperti baju bayi, handuk, bedak
dan kadang-kadang uang tunai.
Upacara dilanjutkan dengan memandikan
ibu yang salama loko. Dimandikan oleh sando nggana dengan
air roa bou (air yang disimpan dalam periuk tanah yang baru).
Dicampur dengan bunga cempaka dan mundu (cempaka kuning
lambang kejayaan. Melati putih lambang kesucian). Waktu mandi, ibu yang salama
loko menginjak telur bekas dipakai mengoles perutnya. Dengan harapan, agar
melahirkan dengan mudah semudah ibu memecahkan telur. Upacara diakhiri
dengan ngaha mangonco (makan rujak). Sang suami ikut pula
makan mangonco bersama peserta upacara.
Sebuah kearifan lokal Bima apabila
seorang istri sedang hamil adalah kedua pasangan suami istri dilarang untuk:
- berkata yang tidak senonoh
- menganiaya binatang atau manusia
- sedapat mungkin tidak menyembelih binatang ternak
- tidak berhubungan suami istri bila mendengar berita ada tetanga atau orang lain meninggal
- tidak membuang air besar di sembarang tempat
- tidak memotong sesuatu seperti kayu atau mengunting kertas. Jika terpaksa, ia harus ingat bahwa istrinya sedang hamil
- suami tidak diperkenankan berburu atau melakukan pekerjaan yang kurang baik seperti mengambil milik orang orang lain tanpa seijin orang yang punya dan sebaginya serta
- khusus istri tidak boleh tidur disaat matahari menjelang naik
Dalam kepercayaan
orang bima atau suku mbojo, upacar ini di gelar agar kelahiran anak pertama
pasangan baru ini lancer, anak dan sang ibunya selamat sampai kelahiran itu
tiba. Masyarakat percaya jika tidak melakukan upacara kiri loko ini anak yang
di kandung seorang ibu tadi kelak lahirnya tidak sehat, cacat fisik maupun
jiwanya.
0 komentar:
Posting Komentar