Teori 3 tahap AUGUSTE COMTE
Karya
Comte yang sangat prihatin terhadap
anarki yang merasuki masyarakat dan mencela pemikir Perancis yang
menimbulkan Pencerahan dan revolusi. Menjadikan Ia mengembangkan pandangan
ilmiahnya, yakni “ positivisme “ atau “ filsafat positif “, untuk memberantas
sesuatu yang ia anggap sebagai filsafat negatif dan destruktif dari Abad
Pencerahan. Sejalan dengan, dan di pengaruhi oleh, pemikir katolik Perancis
antirevolusi ( terutama de Bonald dan de Maistre ). Tetapi, pemikiran Comte
dapat dipisahkan dari pengaruh kedua pemikir itu.
Revolusi
perancis dengan segala aliran pikiran yang berkembang pada masa itu. Comte
perancis dan juga Restorasi Dinasti Bourbon di Perancis yaitu pada masa
timbulnya krisis sosial yang maha hebat dimasa itu. Sebagai seorang ahli pikir,
Comte berusaha untuk memahami krisis yang sedang terjadi tersebut. ia
berpendapat bahwa manusia tidaklah dapat keluar dari krisis sosial yang terjadi
itu tanpa melalui pedoman – pedoman berpikir yang bersifat scientific.Dalam
tradisi filsafat pencerahan, ia berpengalaman pada katalis politik perancis
sebagaimana pascapenolakan revolusi, permulaan revolusi indu anstry, dan
konflik yang meningkat antara ilmu dan agama.
Menurut
Auguste Comte Teori hukum 3 tahap merupakan teori perubahan pemikiran manusia
terhadap kepercayaannya yang perubahannya itu secara bertahap.
Comte
mengemukakan ada 3 teori evolusi atau teori hukum tiga tahap antara lain :
1. tahap
teologis
Dimulai sebelum
tahun 1300 dan menjadi ciri dunia, pada tahap ini meyakini bahwa
sesuatu yang terjadi didunia di kendalikan oleh kekuatan supranatural yang
dimiliki oleh roh,Dewa,atau Tuhan .
2. tahap
metafisik
tahap ini
manusia mulai terjadi pergeseran cara pemikirannya . Tahap teologis,
semua fenomena yang terjadi disekitar manusia sebagai akibat dari kehendak roh,
dewa atau tuhan. Namun pada tahap ini, muncul konsep-konsep abstrak atau
kekuatan abstrak selain tuhan seperti
“alam”. Tahap ini terjadi antara tahun 1300 sampai 1800.
3. tahap
positivisme
pada tahap ini semua gejala alam dan
fenomena yang terjadi dapat dijelaskan secara ilmial berdasarkan peninjauan
,pengujian dan dapat di buktikan secara empiris. Selainnya itu
muncul sekulerisme atau pemisahan dibidang agama dengan bidang yang lain. Tahap
ini menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dan segala sesuatu menjadi lebih
rasional, sehingga tercipta dunia yang lebih baik karena orang cenderung
berhenti melakukan pencarian sebab mutlak (tuhan atau alam) dan lebih
berkonsentrasi pada penelitian terhadap dunia sosial dan fisik dalam upayanya menemukan
hukum yang mengaturnya.
Contoh kejalanya di adat Suku Sasak
adalah Suling
Dewa, Suling Peminta Hujan, syahdu, menyayat hati, dari sebuah suling bambu. Itulah
suling dewa, atau suling dewe, begitu mereka menyebutnya, yang oleh masyarakat
Bayan, Lombok Barat, dilantunkan untuk memanggil hujan, disaat musim kemarau panjang. Ironisnya, tradisi memohon hujan
kepada Sang Pencipta dengan suling dèwê, mulai ditinggalkan.
Ma
Loka Pengontas, yang masih memiliki darah keturunan sesepuh adat Bayan, Lombok
Barat, tengah bersiap hendak menempuh perjalanan jauh memasuki hutan di kaki
Gunung Rinjani, mencari bambu untuk dibuat bilo, pembuat lobang suling, semacam
batangan-batangan kecil dan runcing dibagian ujungnya.
Ia
tak sendirian, ditemani Ma Loka Walin Gumi, yang juga keturunan adat Bayan. Dua
orang kepercayaan masyarakat adat Bayan ini, masing-masing punya tugas sebagai
perintis jalan dan penentu batang bambu mana yang cocok.
Di
tengah perjalanan yang cukup melelahkan itu, mereka sempatkan untuk singgah di
air terjun Sindang Gila, sejenak melepas lelah dan dahaga.
Kembali
mereka meneruskan perjalanan, kembali mereka menggunakan naluri dan ketajaman penglihatan, mencari batang
bambu yang cocok untuk dibuat bilo. Hampir 2 jam mereka berjalan dan akhirnya
menemukan bambu yang dicari, memiliki
diameter sedang, berukuran sekitar 4 sentimeter.
Sesajen
yang telah diberi mantera oleh Ma Loka itu, lalu diberikan kepada Ma Nawimah.
Usai ritual, Ma Nawimah diperbolehkan mencari bambu yang cocok untuk dijadikan
suling dewa.
Bambu
ini tak bisa langsung ditebang. Si pembuat suling dewa harus melakukan upacara
persembahan pada leluhur dan untuk si penunggu rumpun bambu, agar diberi
kemudahan dalam memotong bambu. Inilah yang disebut bambu seruru, bambu pilihan
dengan diameter sekitar 8 sentimeter itu, lalu dijemur sampai kering.
Dengan
peralatan sederhana, berupa pisau, Ma Nawimah dengan lihainya menyerut bambu
seruru sepanjang 1 meter itu. Dengan menggunakan bilo, yang terbuat dari bambu
pula, lubang suling pun dibuat. Konon tak sembarang orang dapat membuat suling
dewa, begitu pula peniup suling dewa, haruslah mereka yang memiliki keturunan
sesepuh Bayan.
Dalam
sekejap mata, suling dewa telah selesai dibuat. Ma Nawimah mencoba meniup
berulang kali hingga suling menghasilkan suara merdu. Konon, menurut para
sesepuh Bayan, suling dewa ini biasa dilantunkan untuk memanggil hujan di saat
musim kemarau panjang.
Di
masa lampau, pemimpin adat bersama-sama warga dusun, lengkap dengan pakaian
tradisional, melakukan ritual mohon hujan. Alunan suara seruling dewa,
mengiringi warga dusun menari sembari memanjatkan do`a, memohon kepada Yang
Kuasa agar diberi hujan. Alunan menyayat hati, mengiringi doa dan puji-pujian,
menjadikan suasana begitu sakral.
Sayangnya
, ritual suling dewa, mulai ditinggalkan masyarakat. Tradisi yang telah turun
temurun selama puluhan tahun di masa lalu itu, dicoba digali kembali oleh Dinas
Pariwisata Lombok Barat, sebagai aset budaya masyarakat Senaru.
Ma
Nawimah, adalah satu dari 2 warga Bayan yang dipercaya untuk membuat suling
dewa dan meniupnya. Lantunan menyayat si seruling dewa, menggambarkan kepedihan
yang dirasakan warga adat Bayan, yang tak lagi memiliki generasi penerus peniup
suling dèwê, si suling legendaris peminta hujan.
Ritual ini mulai ditinggalkan karena mereka
berpikir apakah bisa suara merdu suling bisa menurunkan hujan kalau bukan
karena perubahan iklim yang menyebabkan hujan turun ,bukan karena suara suling
yang terbuat dari bambu ini, dan juga sering terjadi yang tidak memuaskan ketika
masyrakat melakukan ritual ini tetapi tidak menghasilkan hujan seperti yang
masyarakat inginkan , yang terjadi adalah mereka malah mengukai dan senang akan
suara merdu suling dewa pemanggil hujan tersebut ,dan semakin berkurangnya
minat generasi muda untuk melanjutkan ritul ini karena sudah mendapatkan ilmu
dari sekolah- sekolah terntang poses terjadinya hujan ,bukan karena ritual
suling dewa yang meraka lakukan dulu.
Analasis kasus keterkaitannya dengan teori Comte
adalah
1. tahap
teologi
Suling bambu
Itulah suling dewa, atau suling dewe, begitu mereka menyebutnya, yang oleh
masyarakat Bayan, Lombok Barat, dilantunkan dengan merdu untuk memanggil hujan,
disaat musim kemarau panjang. pemikiran
masyarakat bayan ini masih primitive dimana kepercayaannya kepada roh halus
atau dewa itu masih kental di jiwanya .
2.
tahap metafisik
Mereka melakukan ritual seruling
dewa atau pemanggil hujan tidak hanya meniup suling saja , tapi merek
mengiringi dengan menari sembari memanjatkan
do`a, memohon kepada Yang Kuasa agar diberi hujan. Alunan menyayat hati,
mengiringi doa dan puji-pujian, menjadikan suasana begitu sakral.
3.
tahap positifisme
Ritual
ini mulai ditinggalkan karena mereka berpikir apakah bisa suara merdu suling
bisa menurunkan hujan kalau bukan karena perubahan iklim yang menyebabkan hujan
turun ,bukan karena suara suling yang terbuat dari bambu ini, dan juga sering
terjadi yang yang tidak memuaskan ketikqa masyrakat melakukan ritual ini tetapi
tidak menghasilkan hujan seperti yang
masyarakat inginkan , yang terjadi adalah mereka malah mengukai dan senang akan
suara merdu suling dewa pemanggil hujan tersebut ,dan semakin berkurangnya
minat generasi muda untuk melanjutkan ritul ini karena sudah mendapatkan ilmu
dari ekolah- sekolah terntang poses terjadinya hujan ,bukan karena ritual
suling dewa yang meraka lakukan dulu.
Referensi
Ritzer,
George.2008.Teori Sosiologi,Yogyakarta,kreasi wacana