About

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 10 Mei 2016

Teori 3 tahap AUGUSTE COMTE



Teori 3 tahap AUGUSTE COMTE
                                    
Karya Comte yang sangat prihatin terhadap  anarki yang merasuki masyarakat dan mencela pemikir Perancis yang menimbulkan Pencerahan dan revolusi. Menjadikan Ia mengembangkan pandangan ilmiahnya, yakni “ positivisme “ atau “ filsafat positif “, untuk memberantas sesuatu yang ia anggap sebagai filsafat negatif dan destruktif dari Abad Pencerahan. Sejalan dengan, dan di pengaruhi oleh, pemikir katolik Perancis antirevolusi ( terutama de Bonald dan de Maistre ). Tetapi, pemikiran Comte dapat dipisahkan dari pengaruh kedua pemikir itu.
Revolusi perancis dengan segala aliran pikiran yang berkembang pada masa itu. Comte perancis dan juga Restorasi Dinasti Bourbon di Perancis yaitu pada masa timbulnya krisis sosial yang maha hebat dimasa itu. Sebagai seorang ahli pikir, Comte berusaha untuk memahami krisis yang sedang terjadi tersebut. ia berpendapat bahwa manusia tidaklah dapat keluar dari krisis sosial yang terjadi itu tanpa melalui pedoman – pedoman berpikir yang bersifat scientific.Dalam tradisi filsafat pencerahan, ia berpengalaman pada katalis politik perancis sebagaimana pascapenolakan revolusi, permulaan revolusi indu anstry, dan konflik yang meningkat antara ilmu dan agama.
Menurut Auguste Comte Teori hukum 3 tahap merupakan teori perubahan pemikiran manusia terhadap kepercayaannya yang perubahannya itu secara bertahap.
Comte mengemukakan ada 3 teori evolusi atau teori hukum tiga tahap antara lain :
1.    tahap teologis
Dimulai sebelum tahun 1300 dan menjadi ciri dunia, pada tahap ini meyakini bahwa sesuatu yang terjadi didunia di kendalikan oleh kekuatan supranatural yang dimiliki oleh roh,Dewa,atau Tuhan .
2.   tahap metafisik
tahap ini manusia mulai terjadi pergeseran cara pemikirannya . Tahap teologis, semua fenomena yang terjadi disekitar manusia sebagai akibat dari kehendak roh, dewa atau tuhan. Namun pada tahap ini, muncul konsep-konsep abstrak atau kekuatan abstrak  selain tuhan seperti “alam”. Tahap ini terjadi antara tahun 1300 sampai 1800.
3.   tahap positivisme
           pada tahap ini semua gejala alam dan fenomena yang terjadi dapat dijelaskan secara ilmial berdasarkan peninjauan ,pengujian dan dapat di buktikan secara empiris. Selainnya itu muncul sekulerisme atau pemisahan dibidang agama dengan bidang yang lain. Tahap ini menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dan segala sesuatu menjadi lebih rasional, sehingga tercipta dunia yang lebih baik karena orang cenderung berhenti melakukan pencarian sebab mutlak (tuhan atau alam) dan lebih berkonsentrasi pada penelitian terhadap dunia sosial dan fisik dalam upayanya menemukan hukum yang mengaturnya.
Contoh kejalanya di adat Suku Sasak adalah Suling Dewa, Suling Peminta Hujan, syahdu, menyayat hati, dari sebuah suling bambu. Itulah suling dewa, atau suling dewe, begitu mereka menyebutnya, yang oleh masyarakat Bayan, Lombok Barat, dilantunkan untuk memanggil hujan, disaat musim kemarau  panjang. Ironisnya, tradisi memohon hujan kepada Sang Pencipta dengan suling dèwê, mulai ditinggalkan.

Ma Loka Pengontas, yang masih memiliki darah keturunan sesepuh adat Bayan, Lombok Barat, tengah bersiap hendak menempuh perjalanan jauh memasuki hutan di kaki Gunung Rinjani, mencari bambu untuk dibuat bilo, pembuat lobang suling, semacam batangan-batangan kecil dan runcing dibagian ujungnya.
Ia tak sendirian, ditemani Ma Loka Walin Gumi, yang juga keturunan adat Bayan. Dua orang kepercayaan masyarakat adat Bayan ini, masing-masing punya tugas sebagai perintis jalan dan penentu batang bambu mana yang cocok.
Di tengah perjalanan yang cukup melelahkan itu, mereka sempatkan untuk singgah di air terjun Sindang Gila, sejenak melepas lelah dan dahaga.
Kembali mereka meneruskan perjalanan, kembali mereka menggunakan naluri  dan ketajaman penglihatan, mencari batang bambu yang cocok untuk dibuat bilo. Hampir 2 jam mereka berjalan dan akhirnya menemukan bambu yang dicari, memiliki diameter sedang, berukuran sekitar 4 sentimeter.
Sesajen yang telah diberi mantera oleh Ma Loka itu, lalu diberikan kepada Ma Nawimah. Usai ritual, Ma Nawimah diperbolehkan mencari bambu yang cocok untuk dijadikan suling dewa.
Bambu ini tak bisa langsung ditebang. Si pembuat suling dewa harus melakukan upacara persembahan pada leluhur dan untuk si penunggu rumpun bambu, agar diberi kemudahan dalam memotong bambu. Inilah yang disebut bambu seruru, bambu pilihan dengan diameter sekitar 8 sentimeter itu, lalu dijemur sampai kering.
Dengan peralatan sederhana, berupa pisau, Ma Nawimah dengan lihainya menyerut bambu seruru sepanjang 1 meter itu. Dengan menggunakan bilo, yang terbuat dari bambu pula, lubang suling pun dibuat. Konon tak sembarang orang dapat membuat suling dewa, begitu pula peniup suling dewa, haruslah mereka yang memiliki keturunan sesepuh Bayan.
Dalam sekejap mata, suling dewa telah selesai dibuat. Ma Nawimah mencoba meniup berulang kali hingga suling menghasilkan suara merdu. Konon, menurut para sesepuh Bayan, suling dewa ini biasa dilantunkan untuk memanggil hujan di saat musim kemarau panjang.
Di masa lampau, pemimpin adat bersama-sama warga dusun, lengkap dengan pakaian tradisional, melakukan ritual mohon hujan. Alunan suara seruling dewa, mengiringi warga dusun menari sembari memanjatkan do`a, memohon kepada Yang Kuasa agar diberi hujan. Alunan menyayat hati, mengiringi doa dan puji-pujian, menjadikan suasana begitu sakral.
Sayangnya , ritual suling dewa, mulai ditinggalkan masyarakat. Tradisi yang telah turun temurun selama puluhan tahun di masa lalu itu, dicoba digali kembali oleh Dinas Pariwisata Lombok Barat, sebagai aset budaya masyarakat Senaru.
Ma Nawimah, adalah satu dari 2 warga Bayan yang dipercaya untuk membuat suling dewa dan meniupnya. Lantunan menyayat si seruling dewa, menggambarkan kepedihan yang dirasakan warga adat Bayan, yang tak lagi memiliki generasi penerus peniup suling dèwê, si suling legendaris peminta hujan.
Ritual ini mulai ditinggalkan karena mereka berpikir apakah bisa suara merdu suling bisa menurunkan hujan kalau bukan karena perubahan iklim yang menyebabkan hujan turun ,bukan karena suara suling yang terbuat dari bambu ini, dan juga sering terjadi yang tidak memuaskan ketika masyrakat melakukan ritual ini tetapi tidak menghasilkan hujan seperti yang masyarakat inginkan , yang terjadi adalah mereka malah mengukai dan senang akan suara merdu suling dewa pemanggil hujan tersebut ,dan semakin berkurangnya minat generasi muda untuk melanjutkan ritul ini karena sudah mendapatkan ilmu dari sekolah- sekolah terntang poses terjadinya hujan ,bukan karena ritual suling dewa yang meraka lakukan              dulu.
Analasis kasus keterkaitannya dengan teori Comte adalah
1.    tahap teologi
Suling bambu Itulah suling dewa, atau suling dewe, begitu mereka menyebutnya, yang oleh masyarakat Bayan, Lombok Barat, dilantunkan dengan merdu untuk memanggil hujan, disaat musim kemarau  panjang. pemikiran masyarakat bayan ini masih primitive dimana kepercayaannya kepada roh halus atau dewa itu masih kental di jiwanya .
2.   tahap metafisik
Mereka melakukan ritual seruling dewa atau pemanggil hujan tidak hanya meniup suling saja , tapi merek mengiringi  dengan menari sembari memanjatkan do`a, memohon kepada Yang Kuasa agar diberi hujan. Alunan menyayat hati, mengiringi doa dan puji-pujian, menjadikan suasana begitu sakral.
3.   tahap positifisme
Ritual ini mulai ditinggalkan karena mereka berpikir apakah bisa suara merdu suling bisa menurunkan hujan kalau bukan karena perubahan iklim yang menyebabkan hujan turun ,bukan karena suara suling yang terbuat dari bambu ini, dan juga sering terjadi yang yang tidak memuaskan ketikqa masyrakat melakukan ritual ini tetapi tidak menghasilkan  hujan seperti yang masyarakat inginkan , yang terjadi adalah mereka malah mengukai dan senang akan suara merdu suling dewa pemanggil hujan tersebut ,dan semakin berkurangnya minat generasi muda untuk melanjutkan ritul ini karena sudah mendapatkan ilmu dari ekolah- sekolah terntang poses terjadinya hujan ,bukan karena ritual suling dewa yang meraka lakukan dulu.






Referensi
Ritzer, George.2008.Teori Sosiologi,Yogyakarta,kreasi wacana

 

Selasa, 26 April 2016

"Kiri Loko Suku Mbojo"



Dalam bahasa Mbojo, upacara adat disebut “Rawi Rasa” Rawi Rasa berarti semua kegiatan yang dilakukan secara gotong-royong oleh seluruh masyarakat. Rawi rasa terdiri dan dua jenis kegiatan, yaitu rawi mori dan rawi made.  Yang dimaksud dengan rawi mori ialah kegiatan yang berhubungan dengan upacara kehamilan, kelahiran, khitanan dan pernikahan. Sedang rawi made ialah upacara yang berhubungan dengan kematian. Khusus bagi rawi made dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sehingga tidak ada upacara adat yang dilakukan pada rawi made.
Sekarang yang saya bahas yaitu rawi mori yang berhubungan dengan acara “kiri loko” atau nujuh bulanan. Acara digelar atau di lakukan pada ibu hamil yang berumur 7 bulan anak pertamanya. . Upacara ini hanya dilakukan bagi seorang ibu yang pertama kali mengandung. Jalannya upacara dihadiri oleh kaum ibu dan dipimpin oleh sando nggana (dukun beranak) yang dibantu oleh enam orang tua adat wanita.
Upacara akan dimulai pada saat maci oi ndeu (waktu yang tepat untuk mandi) di sekitar jam 07.00. Sando nggana menggelar tujuh lapis sarung. Setiap lapis ditaburi beras dan kuning uang perak sa ece (satu ketip = 10 sen).  Selain itu disimpan pula dua liku atau dua leo mama (dua bungkus bahan untuk menyirih). Maksud dan taburan beras kuning, ialah agar ibu beserta calon bayinya akan hidup bahagia dan jaya. Uang sa ece, sebagai peringatan kepada ibu bersama calon bayi, bahwa uang merupakan salah satu modal dalam kehidupan.
Diatas hamparan tembe dan kain putih, ibu yang salamaloko, tidur terlentang. Sando nggana mengoles perut ibu dengan sebiji telur, yang diminyaki dengan minyak kelapa. Diikuti secara bergilir oleh enam orang tua adat, memohon kepada Allah SWT, agar ibu bersama calon bayi selamat sejahtera.
Pada upacara ini keluarga dan tetangga baik pria maupun wanita diundang hadir untuk menyaksikan. Disaat dukun memperbaiki dan meraba-raba perut ibu hamil tersebut, saat itu pula para tamu laki-laki mengadakan do`a zikir. Ibu-ibu juga hadir untuk menyaksikan upacara salama loko /kiri loko, mereka umumnya membawa barang-barang kado/hadiah/sumbangan untuk sang ibu hamil. Kado/ hadiah/ sumbangan ini biasanya perlengkapan kebutuhan ibu dan bayi seperti baju bayi, handuk, bedak dan kadang-kadang uang tunai.
Upacara dilanjutkan dengan memandikan ibu yang salama loko. Dimandikan oleh sando nggana dengan air roa bou (air yang disimpan dalam periuk tanah yang baru). Dicampur dengan bunga cempaka dan mundu (cempaka kuning lambang kejayaan. Melati putih lambang kesucian). Waktu mandi, ibu yang salama loko menginjak telur bekas dipakai mengoles perutnya. Dengan harapan, agar melahirkan dengan mudah semudah ibu memecahkan telur. Upacara diakhiri dengan ngaha mangonco (makan rujak). Sang suami ikut pula makan mangonco bersama peserta upacara.
Sebuah kearifan lokal Bima apabila seorang istri sedang hamil adalah kedua pasangan suami istri dilarang untuk:
  1. berkata yang tidak senonoh
  2. menganiaya binatang atau manusia
  3. sedapat mungkin tidak menyembelih binatang ternak
  4. tidak berhubungan suami istri bila mendengar berita ada tetanga atau orang lain meninggal
  5. tidak membuang air besar di sembarang tempat
  6. tidak memotong sesuatu seperti kayu atau mengunting kertas. Jika terpaksa, ia harus ingat bahwa istrinya sedang hamil
  7. suami tidak diperkenankan berburu atau melakukan pekerjaan yang kurang baik seperti mengambil milik orang orang lain tanpa seijin orang yang punya dan sebaginya serta
  8. khusus istri tidak boleh tidur disaat matahari menjelang naik
Dalam kepercayaan orang bima atau suku mbojo, upacar ini di gelar agar kelahiran anak pertama pasangan baru ini lancer, anak dan sang ibunya selamat sampai kelahiran itu tiba. Masyarakat percaya jika tidak melakukan upacara kiri loko ini anak yang di kandung seorang ibu tadi kelak lahirnya tidak sehat, cacat fisik maupun jiwanya.

Selasa, 12 April 2016

BUDAYA SAGELE



BUDAYA SAGELE


Sagele merupakan budaya yang di lakukan oleh masyarakat bima ketika musim bercocok tanam tiba, pada saat masyarakat mbojo menanam padi-padi mereka di gunung bila waktu musim hujan tiba. Kegiatan ini berlangsung selama masa penanaman padi.
Biola dan gambus adalah alat kesenian rakyat atau lebih tepatnya kita sebut acara pengiring ketika melaksanakan kegiatan bercocok tanam, indahnya alunan biola atau gambus tunggal (oleh masyarakat bima biasanya disebut biola engke,karena tidak diiringi alat music lain) diiringi oleh kapatu mbojo mantoi dan nyanyian oleh seorang penyanyi sagele, suasana yang sungguh sangat melenakan, bahkan dulu apabila ada diantara para pemuda pemudi yang yang bekerja disawah yang suka satu sama lain atau istilah keren sekarang adalah cinlok, nah kesempatan inilah yang mereka gunakan untuk mengungkapkan perasaan mereka, saling berbalas pantun menggatikan peran penyanyi sagele yang sebenarnya. 
Biasanya digoda lebih dulu oleh pihak laki – laki :
aina ipi da ne’e nuntu watisi ca’u ndi nonta,
‘ na ipiku oko na mbora kone kai ba aka,
Dan dibalas oleh pihak perempuan :
laina da nee ku ntanda ita ma doho ta tando
‘ ntandasi ba mada, dahu adeku nifimu mada ti iumu kone mudu.(2)
Kegiatan bercocok tanam ini sangatla indah dan mengasyik bagi saya, karena di kegiatan ini semua para kaum hawa saling bekerja sama satu sama lainnya. Kegiatan menanam di mulai atau berakhir sesuai dengan alunan suara musik biola ataupun gambo dari pemainnya.
Para pegiat disawah dan ladang mulai mengolah tanah tanah mereka, mereka berlomba dengan terbitnya matahari untuk berbondong bondong kesawah dan ladang mereka, pada hari minggu dan hari libur para anak anak yang biasanya bersekolahpun ikut membantu para orang tua mereka di ladang dan sawah sawah mereka, saling bercengkerama dengan teman teman sebaya mereka. Akan tetapi kebiasaan yang dulu sempat menjadi tradisi di daerah kita khususnya di Desa Maria kecamatan Wawo sudah mulai hilang dan tergusur oleh kemajuan peradaban, tidak terdengar lagi merdunya alunan biola dan rawa sagele disawah dan ladang ladang, tidak terdengar lagi alunan suara biola engke yang menjadi penyemangat bekerja para ABG, seperti ada sesuatu yang hilang!, yang terdengar hanya lamat lamat “rahi dou’’ dari speaker handphone, biola sudah berevolusi menjadi organ tunggal, para penyanyi sagele telah berganti menjadi seorang biduan yang sexy dan erotis.
Hampir di semua desa di bima kegiatan ini sudah tidak ada yang melakukannya lagi, para generasi muda hanya mendengar lagu-lagu pop, dangdut dan lagu-lagu lainnya. Dengan perkembangnya jaman masyarakat bima khusus anak cucu kita mungkin tidak mengenal lagi yang namanya sagele tersebut. Mari kita melestarikan budaya kita sendiri dan jangan terpengaruh oleh budaya barat. 
 Refrensi

Selasa, 05 April 2016

“ TABE BANGKOLO “

Pada suatu hari Ncuhi Jia kedatangan utusan dari Ncuhi Lambu. Seorang Ncuhi yang menguasai wilayah tenggara tanah Sape.
         “ Kami datang untuk menyampaikan amanat Ncuhi Lambu.”
        “ Amanat ? Apakah yang menjadi hajatnya ?” Ncuhi Jia ingin tahu.
        “ Beliau bermaksud menyelenggarakan pesta besar dalam rangka perkawinan putrinya.”
.       “ Wah…..Wah….Wah… ! Hebat…. Hebat !  Kapan pesta itu dilaksanakan ?” Ncuhi Jia semakin penasaran.
        “Pada malam purnama depan.”
         “ Kalau begitu, pada kesempatan ini saya nyatakan untuk hadir pada pesta itu. Dan sampaikan salam hormat saya pada Ncuhimu.”
        “ Baiklah ! Kami tidak akan berlama-lama di sini karena masih banyak  urusan yang harus diselesaikan.”
        Lalu utusan itu meninggalkan kediaman Ncuhi Jia  menuju kampung halamannya.
        Berita tentang pesta besar Ncuhi Lambu tersebar ke seluruh wilayah Jia. Dari puncak-puncak gunung sampai ke hulu sungai orang-orang bercerita tentang pesta tersebut. Singkat cerita ncuhi jia beserta rakyatnyapun pergi ke pesta yang diadakan oleh ncuhi lambu tersebut. Sesampainya disana mereka beristrahat dan saling bersapaan antara satu sama lainnya. Kata ncuhi lambu“ Menurut saya ada baiknya Ncuhi merebahkan diri sejenak untuk mengembalikan tenaga sebagai persiapan untuk pulang.” Ncuhi Lambu terus mendesak.
        Akhirnya Ncuhi Jia mengalah. Sambil terus menguap ia berjalan menuju ke Bilik yang telah disiapkan Ncuhi Lambu. Tak lama kemudian ia tertidur pulas. Sementara itu, di arena pesta terus berkemas untuk pulang. Semuanya sudah siap dan tinggal menunggu Ncuhinya. Setelah lama mereka berunding, akhirnya mereka meutuskan untuk kembali ke kampung Jia dan meninggalkan ncuhinya. Setelah melangkah lebih jauh, ia terkejut. Sebab tak satupun dari warganya yang terlihat. Sepi, hening dan lengang menambah kegundahan dalam hatinya. Larut dalam kekesalan, tanpa terasa ia telah memasuki hutan belantara. Pasrah ia berjalan meski tak tentu arah tanpa disadari ia telah tiba di pinggir panta, tiba-tiba saja matanya selalu tertuju kepada sesuatu yang sedang menuju ke arahnya nun jauh di tengah lautan. Semakin lama semakin dekat. Namun ia belum dapat memastikan apakah itu perahu atau benda lain. Keraguannya terjawab ketika semakin mendekat dan tepat berada di hadapannya. Ternyata adalah seekor Ikan Ekor Kuning (Bima: Uta Bangkolo) yang sangat besar. Ncuhi Jia terkejut dan heran ketika ikan itu dapat berbicara dan menawarkan sesuatu kepadanya.
         “ Naiklah di atas punggung saya dan saya akan membawa tuan sampai ke tujuan.”
        Tanpa berpikir panjang Ncuhi Jia langsung naik di atas punggung ikan itu. Secepat kilat ikan itu membawa Ncuhi Jia untuk berkeliling mengitari selat Sape. Dan mengantar Ncuhi Jia sampai ke kampungnya. Ncuhi Jia mengangkat sumpah sambil memegang punggung ikan itu. Sebagai ungkapan terima kasihnya atas pertolongan ikan itu.
        “ Pada hari ini aku bersumpah, bahwa aku, wargaku dan anak keturunanku tidak boleh sekali-sekali memakan ikan ekor kuning( Uta Bangkolo). Jika sumpah ini dilanggar, maka seluruh tubuhnya akan gatal-gatal dan membengkak. Dan tidak ada obat yang mujarab untuk itu.”
        Seluruh rakyat hanya diam dan menunduk. Isi sumpah itu telah mengikat mereka. Bila mereka memakan ikan bangkolo maka seluruh rakyat jia sekujur tubuh mereka gatal-gatal. Kepalanya pusing, mual-mual dan muntah, seperti orang kesurupan. Sejak saat itu masyarakat yang bermukim di wilayah desa Jia kecamatan Sape. Tidak mengkonsumsi ikan ekor kuning hingga sekarang. Dan Wajan besar beserta seluruh perangkatnya sebagai bukti  peninggalan zaman itu masih ada dan terletak di atas sebuah bukit di sekitar desa Jia kecamatan Sape Bima. Wajan itu dikenal dengan nama TABE  BANGKOLO.
Dan sampai sekarang ini masyarakat jia tidak memakan dan melihat ikan tersebut.

http://irawanmantoi.blogspot.co.id/2012/08/cerita-rakyat-sape-bima-ntb-tabe.html